Di desa Dinoyo ( Barat Laut Malang ) diketemukan sebuah Prasasti berangka tahun 760, dengan huruf Kawi dan berbahasa Sansekerta, yang menceritakan bahwa pada abad VIII terdapat Kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan ( sekarang desa Kejuron ) dengan Raja bernama Dewasimha dan berputra Limwa ( saat menjadi pengganti ayahnya bergelar Gajayana ), yang mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk Dewa Agastya dan diresmikan pada tahun 760. Upacara peresmian dilakukan oleh para Pendeta Ahli Weda ( Agama Siwa ).
Bangunan kuno yang saat ini masih ada di desa Kejuron adalah Candi Badut, berlanggam Jawa Tengah, sebagian masih tegak dan terdapat Lingga ( mungkin lambang Dewa Agastya ).
Kecuali di desa Canggal, hingga pertengahan abad IX catatan mengenai keturunan Sanjaya tidak ada lagi ditemukan pada Prasasti lainnya, kecuali Prasasti-Prasasti dari keluarga Raja lain, yaitu Cailendrawamsa / Sailendrawamsa, antara lain pada Prasasti Kalasan.
Dalam Prasasti Kalasan, yang berhuruf Pra-Nagari, berbahasa Sanskerta dan berangka tahun 778, disebutkan bahwa Maharaja Tejahpurnapana Panangkarana / Kariyana Panangkarana telah mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta Kerajaan. Selain itu dijelaskan bahwa antara keluarga Sanjaya dan keluarga Cailendra terjadi kerjasama yang erat dalam hal-hal tertentu.
Candi itu bernama Kalasan, di desa Kalasan (sebelah Timur Yogyakarta), kondisi bagian dalam Candi Kalasan ini sekarang kosong, namun terlihat singgasana serta biliknya dimana arca Dewi Tara dahulu pernah ditempatkan disini dengan ukuran yang besar sekali, dan diperkirakan terbuat dari perunggu.
Bangunan kuno yang saat ini masih ada di desa Kejuron adalah Candi Badut, berlanggam Jawa Tengah, sebagian masih tegak dan terdapat Lingga ( mungkin lambang Dewa Agastya ).
SANJAYAWAMSA dan CAILENDRAWAMSA
Kecuali di desa Canggal, hingga pertengahan abad IX catatan mengenai keturunan Sanjaya tidak ada lagi ditemukan pada Prasasti lainnya, kecuali Prasasti-Prasasti dari keluarga Raja lain, yaitu Cailendrawamsa / Sailendrawamsa, antara lain pada Prasasti Kalasan.
Dalam Prasasti Kalasan, yang berhuruf Pra-Nagari, berbahasa Sanskerta dan berangka tahun 778, disebutkan bahwa Maharaja Tejahpurnapana Panangkarana / Kariyana Panangkarana telah mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta Kerajaan. Selain itu dijelaskan bahwa antara keluarga Sanjaya dan keluarga Cailendra terjadi kerjasama yang erat dalam hal-hal tertentu.
Candi itu bernama Kalasan, di desa Kalasan (sebelah Timur Yogyakarta), kondisi bagian dalam Candi Kalasan ini sekarang kosong, namun terlihat singgasana serta biliknya dimana arca Dewi Tara dahulu pernah ditempatkan disini dengan ukuran yang besar sekali, dan diperkirakan terbuat dari perunggu.
Menurut Prasasti Raja Balitung berangka tahun 907, Tejahpurna Panangkarana adalah Rakai Panangkaran, pengganti Sanjaya. Kemudian dilanjutkan oleh Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalanga dan Raja Balitung / Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambhu ( Raja yang membuat Prasasti ).
Pemerintahan Sanjayawamsa berlangsung dengan wilayah kekuasaan di bagian Utara Jawa Tengah dan beragama Hindu yang memuja Siwa, terbukti dari sifat Candinya ( thn 750-850 M ), sehingga diperkirakan pemerintahan Sailendrawamsa juga berlangsung dengan wilayah kekuasaan di bagian Selatan Jawa Tengah dan beragama Buda aliran Mahayana yang juga terbukti dari Candinya.
Kedua Wamsa ini bersatu di pertengahan abad IX, yang ditandai dengan adanya perkawinan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani ( Putri Raja dari keluarga Cailendra ).
Selain Candi Kalasan, ditemukan juga Prasasti dari Kelurak ( Prambanan ) yang berhuruf Pra-Nagari dan berbahasa Sanskerta, yang menceritakan tentang pembuatan Arca Manjusri ( tentang Buddha, Dharma dan Sanggha ), Rajanya bergelar Sri Sanggramadananjaya, serta bangunan untuk penempatan arca lain ( tidak jauh di sebelah utara Prambanan ) bernama Candi Siwa.
Samaratungga adalah pengganti Indra. Yang menurut Prasasti Karangtengah ( dekat Temanggung ) tahun 824 diceritakan bahwa Samaratungga membangun Candi Wenuwana / Ngawen di sebelah Barat Muntilan. Anehnya, seperti halnya Kalasan, pemberi tanah untuk bangunan Candi tersebut adalah seorang Raja keluarga Sanjaya, yaitu Rakarayan Patapan Mpu Palar atau Rakai Garung.
Samaratungga kemudian digantikan oleh putrinya, Pramodawardhani ( yang kemudian bergelar Sri Kahulunnan ) yang kawin dengan Rakai Pikatan, pengganti Rakai Garung. Diketahui bahwa, Pramodhawardhani telah mendirikan bangunan Suci Agama Buddha ( misalnya kelompok Candi Plaosan, pemeliharaan Kamulan / Candi Borobudur di Bhumisambhara - yang diperkirakan dibangun oleh Samaratungga ), sedangkan Rakai Pikatan diketahui telah mendirikan bangunan Suci Agama Hindu ( misalnya kelompok Candi Loro Jonggrang ).
Sedangkan Balaputra, adik laki-laki dari
Pramodawardhani, pada tahun 856 telah gagal merebut kekuasaan dari Rakai Pikatan ( Balaputra merasa seharusnya ia adalah pewaris tahta ), karena kekalahannya ia melarikan diri ke Suwarnadwipa dan berhasil menaiki takhta Sriwijaya, dengan
agamanya Buddha.
SANJAYAWAMSA
Setelah berhasil mengalahkan kekuasaan Keluarga Sailendra, pada Prasasti tahun 856 dikatakan bahwa Rakai Pikatan sebelum turun tahta telah mampu menggempur Balaputra yang bertahan di bukit Ratu Boko. Pengganti Rakai Pikatan adalah Dyah Lokapala atau Rakai Kayuwangi ( tahun 856-886 ) dengan sebutan Sri Maharaja ( gelar ) Abhiseka ( penobatan raja ) Sri Sajjanotsawatungga, yang menunjukkan bahwa ia penguasa satu-satunya dan juga berdarah keturunan Sailendra.
Rakyat pada masa Pemerintahan Rakai Kayuwangi menghadapi kesulitan, karena selama 3/4 abad Wamsa Sailendra banyak mendirikan bangunan-bangunan suci yang megah dan mewah demi kebesaran raja, yang mengakibatkan lemahnya tenaga rakyat Mataram dan menekan hasil pertanian.
Pengganti Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang ( tahun 886-898 ), lalu Raja Balitung / Rakai Watukura yang bergelar Sri Iswarakesawotsawatungga ( tahun 898-910 ), dan merupakan Raja Pertama yang memerintah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam hal ini ada kemungkinan bahwa Kanjuruhan ( melalui Prasasti Dinoyo ) telah ditaklukkan, karena sebutan bahwa Rakryan Kanjuruhan sebagai salah satu jabatan tinggi langsung dibawah raja.
Setelah Raja Balitung, kemudian digantikan oleh Raja Daksa, yang sebelumnya menjabat sebagai Rakryan Mahamantri I Hino ( tahun 910-919 ), kemudian digantikan oleh Raja Tulodong dengan gelar Sri Sajanasanmatanuragatuggadewa ( tahun 919-924 ), selanjutnya digantikan oleh Raja Wawa yang bergelar Sri Wijayalokanamottungga ( tahun 924-929 ), dan kemudian seorang Raja dari keluarga lain, yaitu Sindok dari Isanawamca yang mana pusat pemerintahan berpindah ke Jawa Timur, tanpa diketahui secara jelas. Namun para ahli mengatakan kemungkinan karena meletusnya Gunung Merapi.