Pada sekitar tahun 1500, seorang Bupati Demak, putra dari Brawijaya dengan Putri Campa, yang beragama Islam, bernama Raden Patah / Jin Bun / R. Bintoro, secara terbuka memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi.
Dan atas bantuan daerah-daerah lain yang telah beragama Islam ( seperti Gresik, Tuban dan Jepara ), ia mendirikan Kerajaan Islam yang berpusat di Demak.
Putra Brawijaya lain bernama Bondan Kejawan / Lembupeteng di Tarub mengawini Rr. Nawangsih ( Putri Joko Tarub dan Rr. Nawangwulan ) dan mempunyai cucu bernama Kyai Ageng Getas / R. Depok di Pandowo, yaitu Kyai Ageng Selo / Bagus Songgom / Risang Sutowijoyo / Syeih Abdurrahman.
Putra lain dari Brawijaya yang bernama Lembupeteng juga berkedudukan di Gilimangdangin / Sampang, mempunyai cucu buyut bernama Raden Praseno yang menjadi Adipati Sampang, berjuluk Cakraningrat I, kemudian putranya yang bernama Pangeran Undakan menggantikannya dan bergelar Cakraningrat II, sedang putra yang satunya memiliki anak bernama Trunojoyo.
Sedang putri dari Brawijaya yaitu Ratu Pambayun menikah dengan Pangeran. Dayaningrat dan mempunyai 2 (dua) anak bernama Kebokanigoro dan Kebokenongo / Ki Ageng Pengging yang menjadi teman dekat seorang wali kontraversial yaitu Syeh Siti Jenar.
Raden Patah akhirnya meruntuhkan Majapahit dan menjadi sebagai Raja Islam pertama bergelar Sultan Demak, dan mencapai kejayaanya.
Dan atas bantuan daerah-daerah lain yang telah beragama Islam ( seperti Gresik, Tuban dan Jepara ), ia mendirikan Kerajaan Islam yang berpusat di Demak.
Putra Brawijaya lain bernama Bondan Kejawan / Lembupeteng di Tarub mengawini Rr. Nawangsih ( Putri Joko Tarub dan Rr. Nawangwulan ) dan mempunyai cucu bernama Kyai Ageng Getas / R. Depok di Pandowo, yaitu Kyai Ageng Selo / Bagus Songgom / Risang Sutowijoyo / Syeih Abdurrahman.
Putra lain dari Brawijaya yang bernama Lembupeteng juga berkedudukan di Gilimangdangin / Sampang, mempunyai cucu buyut bernama Raden Praseno yang menjadi Adipati Sampang, berjuluk Cakraningrat I, kemudian putranya yang bernama Pangeran Undakan menggantikannya dan bergelar Cakraningrat II, sedang putra yang satunya memiliki anak bernama Trunojoyo.
Sedang putri dari Brawijaya yaitu Ratu Pambayun menikah dengan Pangeran. Dayaningrat dan mempunyai 2 (dua) anak bernama Kebokanigoro dan Kebokenongo / Ki Ageng Pengging yang menjadi teman dekat seorang wali kontraversial yaitu Syeh Siti Jenar.
Raden Patah akhirnya meruntuhkan Majapahit dan menjadi sebagai Raja Islam pertama bergelar Sultan Demak, dan mencapai kejayaanya.
Raden Patah wafat pada tahun 1518 dan digantikan oleh putranya bernama Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang hanya memerintah selama 3 tahun.
Pati Unus digantikan saudaranya yaitu Pangeran Trenggono bergelar Sultan Demak yang memerintah hingga tahun 1548. Dalam pemerintahannya Trenggono mampu memperluas Kerajaan sampai di daerah Pasai Sumatra Utara yang dikuasai Portugis, dimana seorang ulama dari Pasai bernama Fatahillah menyeberang ke Demak dan dikawinkan dengan adik Raja.
Berkat Fatahillah pula, Demak berhasil merebut daerah perdagangan Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat yang belum beragama Islam, yaitu Cirebon dan Banten ( akhirnya diserahkan kepada Fatahillah oleh Kerajaan Demak ).
Pada tahun 1522 Portugis datang ke Sunda Kalapa ( Jakarta ) dan bekerja sama dengan Raja Pajajaran dalam menghadapi Islam, sehingga Portugis diijinkan mendirikan Benteng di Sunda Kalapa.
Kekalahan Portugis di tahun 1527 oleh Fatahillah membuat Portugis meninggalkan Sunda Kelapa yang sudah berubah nama menjadi Jayakarta. Sedangkan Trenggono walaupun berhasil menalukkan sebagian wilayah Jawa, tapi daerah Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali yang tetap Hindu. Dan pada tahun 1548 Sultan Trenggono wafat akibat perang dengan Pasuruan.
Wafatnya Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara kedua adiknya. Suksesi ke tangan salah satu adiknya bernama Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik Sultan Trenggono, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya terbunuh.
Pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya "dihabisi" oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri adipati Jepara, dan hal ini menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya Penangsang.
Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul kekacauan dimana-mana. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari Adipati Japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya menentang Arya Panangsang, yang salah satu dari Adipati itu bernama Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono.
Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi Raja pertama di Pajang.
Dengan demikian, habislah riwayat Kerajaan Islam Demak.
dalam menceritakan sejarah Kerajaan Demak, perlulah menceritakan tentang kedatangan Islam di Jawa serta keberadaan Wali Sanga saat berkuasanya Demak.
Kedatangan Islam ke Jawa
Di Gresik (daerah Leran) ditemukan batu bertahun 1082 Masehi berhuruf Arab yang menceritakan bahwa telah meninggal seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang beragama Islam. Lalu disekitar tahun 1350 saat memuncaknya kebesaran Majapahit, di pelabuhan Tuban dan Gresik banyak kedatangan para pedagang Islam dari India dan dari kerajaan Samudra (Aceh Utara) yang juga awalnya merupakan bagian dari Majapahit, disamping para pedagang Majapahit yang berdagang ke Samudra. Juga menurut cerita, ada seorang putri Islam berjuluk Putri Cempa dan Putri Cina yang menjadi isteri salah satu raja Majapahit.
Sangat toleransinya Majapahit terhadap Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam Kerajaan Majapahit terdapat batu nisan bertuliskan tahun 1369 ( saat Hayam Wuruk memerintah ).
Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti Kurawal yang mengingatkan Kala-Makara, bertulisan angka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat.
Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat Kerajaan Demak.
Wali Sanga
Sebagai penyiar penting yang sangat giat menyebarkan agama Islam, mereka dijuluki Wali-Ullah dan di Jawa dikenal sebagai Wali Sanga (9), yang merupakan Dewan Dakwah / Mubaligh. Kelebihan mereka dibanding kepercayaan / agama penduduk lama adalah tentang kekuatan bathin yang lebih, ilmu yang tinggi dan tenaga gaib.
Mereka tidak hanya berkuasa dalam agama, tapi juga dalam hal pemerintahan dan politik. Menurut Kitab Kanzul Ulum Ibnul Bathuthah, Wali Sanga berganti susunan orangnya sebanyak 5 (lima) kali.
Syeh Siti Jenar adalah wali kontraversial, dari mulai asal muasal yang muncul dengan berbagai versi, ajarannya dianggap menyimpang dari agama Islam tapi sampai saat ini masih dibahas di berbagai lapisan masyarakat, masih ada pengikutnya, sampai dengan kematiannya yang masih dipertanyakan caranya termasuk dimana ia wafat dan dimakamkan. Syeh Siti Jenar wafat bunuh diri atau dihukum mati.