Kerajaan Majapahit


Kitab Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri Majapahit bernama Nararya Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah lebih sering digunakan.

Saat Singhasari jatuh, dengan bantuan Lurah desa Kudadu Raden Wijaya dapat menyeberang ke Madura, guna mencari perlindungan dan bantuan dari Wiraraja di Sungeneb ( Sumenep ).

Atas saran dan jaminan Wiraraja, Raden Wijaya mengabdikan diri ke Jayakatwang di Kadiri, dan ia dianugerahi tanah di Desa Tarik, yang atas bantuan orang-orang Madura dibuka dan menjadi desa subur dengan nama Majapahit.

Sementara itu tentara Monggol sebanyak 20.000 orang yang diangkut 1.000 kapal berbekal untuk satu tahun telah mendarat di Tuban dan di dekat Surabaya, dengan tujuan membalas penghinaan Kertanegara terhadap Kubilai Khan.

Pasukan Monggol tidak mengetahui bahwa Kartanegara telah tewas dibunuh Jayakatwang. Ini dimanfaatkan Raden Wijaya dengan menggabungkan diri dengan tentara Monggol menggempur Kadiri, yang akhirnya Jayakatwang menyerah. Setelah itu, Raden Wijaya balik menyerang tentara Monggol sehingga memaksa mereka lari dan kembali ke Monggol.

Dengan bantuan pasukan Singhasari yang kembali dari Sumatra, Raden Wijaya diangkat menjadi Raja pertama Kerajaan Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309), mempunyai beberapa isteri, seorang putri Malayu dan 4 puteri Kartanegara, yang tertua bernama Tribhuwana dan yang termuda bernama Gayatri yang disebut juga Rajapatni dan dari padanyalah berlangsungnya raja-raja Majapahit selanjutnya.

Raden Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman, susunan pemerintahan mirip Singhasari, ditambah 2 (dua) Menteri yaitu Rakryan Rangga dan Rakryan Tumenggung.
Sedangkan Wiraraja yang banyak membantu diberi kedudukan sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang sampai Blambangan.



Raden Wijaya wafat di tahun 1309, meninggalkan 2 (dua) anak perempuan dari Gayatri berjuluk Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, serta satu anak laki-laki dari Dara Petak yaitu Kalagemet / Jayanegara yang dalam tahun 1309 naik tahta. 

Untuk memuliakannya, Raden Wijaya dicandikan di Candi Siwa di Simping yaitu Candi Sumberjati di sebelah selatan Blitar dan di Candi Buda di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudannya adalah Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam satu arca. 

Sedangkan Tribhuwana dimuliakan di candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.

Kalagemet / Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Kertarajasa. 
Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak Kertarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan.

Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang Rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu yang ketiga dalam tahun 1316, oleh Patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan benteng di Pajarakan. Nambi akhirnya dapat ditumpas.



Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang Raja Jayanegara melarikan diri dibawah perlindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada. Akhirnya, Gajah Mada beserta Bhayangkarinya berhasil menggempur Kuti, dan mengembalikan Raja Jayanegara untuk melanjutkan pemerintahannya.

Jayanegara wafat di tahun 1328 tanpa seorang keturunan. Ia dicandikan di Sila Petak dan Bubat dengan perwujudannya sebagai Wisnu, serta di Sukalila sebagai Amoghasiddhi, dimana candi-candi itu sudah hancur.

Pengganti selanjutnya yang seharusnya adalah Gayatri, namun karena ia telah meninggalkan hidup keduniawian yaitu menjadi bhiksuni, maka anaknya lah yang bernama Bhre Kahuripan yang mewakili ibunnya naik tahta dengan gelar Tribhuwananottunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1360).

Pada tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan dapat ditumpas.

Gajah Mada dalam menunjukkan pengabdiannya, bersumpah yang disebut Sumpah Palapa ( artinya tanpa garam dan rempah-rempah ) yaitu: bahwa ia tidak akan merasakan palapa, sebelum daerah seluruh nusantara ada di bawah kekuasaan Majapahit. Atau bagi orang Jawa, disebut mutih.

Langkah pertama, Gajah Mada memimpin pasukan menaklukkan Bali di tahun 1343 bersama Adityawarman ( putera Majapahit keturunan Malayu yang di Majapahit menjabat sebagai Wrddhamantri bergelar Arrya Dewaraja Mpu Adutya). Atas jasanya Adityawarman ditempatkan di Malayu sebagai Wirddhamantri bergelar Arrya Dewaraja Pu Aditya.

Adityawarman di Sumatra menyusun kembali pemerintahan Mauliwarmmadewa yang kita kenal di tahun 1286. Ia memperluas kekuasaan sampai daerah Pagarruyung ( Minangkabau ) dan mengangkat dirinya sebagai Maharajadhiraja (1347), terhadap Gayatri ia tetap mengaku dirinya sebahai Mantri dan masih sedarah dengan Raja Putri.

Pada tahun 1360 saat Gayatri wafat, Tribhuwanottunggadewi ikut turun tahta, dan menyerahkan kedudukannya kepada anaknya yaitu Hayam Wuruk, atas perkawinannya dengan Kertawardddhana.

Hayam Wuruk memerintah dengan gelar Rajasanagara (1360-1369), didampingi Gajah Mada sebagai Patihnya. Seluruh kepulauan Indonesia bahkan juga jazirah Malaka dibuatnya mengibarkan Panji-Panji Majapahit. Hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga berlangsung dengan sangat baik. Sumpah Palapa pun hampir terlaksana, Majapahit mengalami jaman keemasan.

Alkisah, hanya tinggal Kerajaan Sunda yang diperintah Sri Baduga Maharaja yang menurut prasasti Batutulis (Bogor) tahun 1333, Rajanya adalah keturunn Raja Pakwan Pajajaran ( anak Rahyang Dewaniskala dan cucu dari Rahyang Niskalawastu Kancana ) yang belum dapat ditaklukkan Majapahit, walau sudah 2 (dua) kali diserang. 
Akhirnya di tahun 1357 Sri Baduga beserta para pembesar Sunda dapat didatangkan ke Majapahit dan dibinasakan secara kejam di Lapangan Bubat ( Perang Bubat ). 
Karena perang ini sangat menarik, maka secara khusus diceritakan inti kisah Perang Bubat menurut Kidung Sudayana.