Setelah Panembahan Senopati wafat, penggantinya adalah putranya dari
perkawinannya dengan Ratu Hadi (Putri Pangeran Benowo) yang bernama Mas Jolang,
berjuluk Panembahan Seda Krapyak dan bergelar Sultan Hanyokrowati (1601-1613),
yang banyak menghadapi pemberontakan.
Kegagalannya menaklukkan Surabaya walau
di berbagai daerah berhasil, menyebabkan ia wafat di tahun 1613 dan dimakamkan
di Kota Gede. Kemudian, anaknya yang menggantikan yaitu Adipati Martapura yang
sakit-sakitan segera digantikan oleh saudaranya bernama Raden Rangsang yang
berjuluk Sultan Agung Hanyokrokusuma (1613-1646).
Di bawah pemerintahan Sultan Agung,
Mataram mengalami kejayaan, terhormat dan disegani sampai di luar Jawa. Karaton
yang semula di Kerta dipindahkan ke Plered. Musuh bebuyutan Mataram yaitu
Surabaya, dapat ditaklukkan. Sukadana-Kalimantan dapat juga ditundukkan. Madura
dibuat tidak berdaya dan Sultan mengangkat adipati Sampang menjadi adipati
Madura yang bergelar pangeran Cakraningrat I.
Akhirnya seluruh Jawa Tengah dan
Jawa Timur bernaung di bawah Panji-Panji Mataram, yang salah satu cara untuk
mengikat para Adipati adalah dengan mengawinkan putri-putri Mataram dengan
mereka. Malah Sultan sendiri mengawini putri Cirebon, yang mengakibatkan
Cirebon juga dapat ia kuasai. Namun Cita-citanya mempersatukan Jawa terganjal
Kompeni Belanda yang berada di Batavia, sehingga untuk menaklukkan Banten yang
tidak mau mengakuinya harus melenyapkan Kompeni terlebih dahulu. Maka
disusunlah strategi penyerangan.
Saat Gubernur Jenderal dipimpin oleh
Jan Pieterszoon Coen sekaligus wakil V.O.C.(Verrenigde Oost- Indische
Compagni), Kompeni di tahun 1928 diserang Mataram walau mengalami kegagalan
merobohkan benteng Belanda, akibat perbekalan pasukan yang habis, di samping
Banten yang juga musuh Kompeni tapi hanya janji kosong ikut menyerang.
Tanpa putus asa, Sultan menyerang kembali di tahun 1929, dengan mempersiapkan perahu-perahu berisi beras di sekitar perairan Batavia serta membuat gudang-gudang beras di Cirebon dan Kerawang. Tapi ia gagal lagi, pasukannya kelaparan dan terjangkit berbagai penyakit akibat kalahnya perahu-perahunya dengan kapal-kapal Belanda serta gudang-gudang beras yang dibakar oleh mata-mata musuh, walau Coen yang kagum terhadap pasukan Mataram wafat saat Batavia dikepung pasukan Mataram.
Tanpa lelah, Sultan Agung
melakukan penyerangan kembali, dengan sebelumnya mengirim penduduk Jawa Tengah
dan Sumedang untuk membabat hutan belukar di Krawang menjadi daerah pertanian
serta membuat jalan-jalan yang berhubungan dengan Mataram. Selain itu ia juga
bersekutu dengan orang-orang Portugis di Malakka dan orang-orang Inggris di
Banten, untuk mempersulit pengiriman beras ke Batavia dan pedagang-pedagang
yang biasa ke Batavia ia alihkan langsung ke Malakka.
Tapi Saat sedang
konsentrasi kepada Kompeni, ada pemberontakan dari Sunan Giri yang ingin
berkuasa di Jawa Timur, yang akhirnya berhasil ia redam termasuk Blambangan
yang dapat ditaklukkan walau tidak lama kemudian bergabung kembali dengan Bali.
Sementara itu Belanda semakin kuat dan menguasai laut dengan mengalahkan
orang-orang Portugis
.
Saat giat-giatnya Sultan mempersiapkan penyerangan untuk menghapus Belanda, tanpa disangka ia wafat (1646), sehingga menggagalkan cita-citanya dalam membasmi Kompeni. Yang menarik juga, ia dikenal bukan saja sebagai raja besar dan panglima ulung, tapi juga sebagai orang Islam yang ta’at beribadah dan menjadi contoh dalam kerajinannya dalam sholat Jum’at.
.
Saat giat-giatnya Sultan mempersiapkan penyerangan untuk menghapus Belanda, tanpa disangka ia wafat (1646), sehingga menggagalkan cita-citanya dalam membasmi Kompeni. Yang menarik juga, ia dikenal bukan saja sebagai raja besar dan panglima ulung, tapi juga sebagai orang Islam yang ta’at beribadah dan menjadi contoh dalam kerajinannya dalam sholat Jum’at.
Di tahun 1633 ia mengadakan tarikh
baru yaitu dari tarikh Saka yang berdasarkan Tahun Matahari (1 tahun = 365
hari) menjadi tarikh Jawa-Islam yang berdasarkan tahun bulan (1 tahun = 354
hari), sesuai Tarikh Islam. Tahun 1633 itu adalah tahun Saka 1555 dan tahun Saka ini menjadi tahun Jawa-Islam 1555 pula. Sedangkan untuk memperkokoh
dirinya sebagai pemimpin Islam, ia mengirim utusan ke Mekkah dan yang di tahun
1641 kembali dengan membawa para ahli agama untuk menjadi penasehat Karaton dan
memperoleh gelar Sultan ‘Abdul Muhammad Maulana Matarami.
Pengganti Sultan Agung adalah
Amangkurat Agung / Amangkurat I (1646-1677) atau juga dikenal sebagai Sunan Seda
Tegalarum yang bertahta di Kartasura, dan selanjutnya digantikan oleh Amangkurat Amral / Amangkurat II (1677-1703), kemudian Amangkurat Mas / Amangkurat III
(1703-1704), seterusnya pangeran Puger / Sunan Pakoeboewono I (1708-1719), Amangkurat Jawi / Mangkurat IV (1719-1727), yang dilanjutkan oleh Sunan
Pakoeboewono II (1727-1745) dan memindahkan Karaton ke Surakarta (1745-1749).
Namun saat digantikan putranya yaitu Sunan Pakoeboewono III (1749-1788),
Mataram yang daerahnya sudah semakin sempit akibat kelihaian Belanda terpecah
menjadi 2 (dua), yaitu satunya Surakarta tetap diperintah Sunan Pakoeboewono
III, sedangkan Yogyakarta diberikan kepada pamannya sendiri yang bergelar
Sultan Hamengkoeboewono I (1755-1792).
Putra dari Pangeran Mangkunagara
(salah satu putra Amangkurat IV) yaitu Raden Mas Said atau dikenal dengan
julukan Pangeran Sambernyawa, walau sangat tangguh melawan Kompeni tapi juga
rasa hormat terhadap Pakoeboewono III, akhirnya bersedia bersepakat yang mana
Raden Mas Said diberi kekuasaan serupa Raja, tapi dengan beberapa pengecualian.
Ia bergelar Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Aria Mangkunagoro I dan berkedudukan di pura Mangkunegaran - Surakarta
(1757-1795). Ini, merupakan hasil dari perjanjian Giyanti. Sedangkan di
Yogyakarta pada tahun 1812 beberapa putra Sultan, selain ada yang menggantikan
dirinya menjadi Sultan Hamengkoeboewono II (1792-1812), maka salah satu
putranya di tahun 1812 yang barangkali untuk sepadan dengan Surakarta diangkat
dan dibentuk pura sejenis Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Aria (KGPAA) Paku Alam I (1812-1828).
Karya Kesusasteraan mengenai riwayat pecahnya kerajaan Mataram dalam tahun 1755 dan 1757 yang berubah menjadi Kasultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, ada pada riwayat Babad Giyanti karangan Yasadipura, yang betul-betul sebuah sejarah dan sangat menarik dan menceritakan tentang pecahnya Mataram..
Sejak tahun 1945, Kerajaan di Surakarta dan di Yogyakarta, mengakui dan melebur menjadi satu dengan Republik Indonesia, sehingga Karaton-Karaton tersebut disepakati hanya sebagai semacam institusi kekerabatan keluarga besar Karaton masing-masing, disamping ditetapkan oleh pemerintah sebagai cagar budaya.
Kemudian di tahun 2000 ini
pimpinan dari Karaton Surakarta adalah Sunan Pakubuwono XII, pura Mangkunegaran
adalah K.G.P.A.A. Mangkunagoro IX, Karaton Yogyakarta adalah Sultan
Hamengkubuwono X dan pura Pakualaman adalah K.G.P.A.A. Paku Alam IX, dengan
segala warisan budayanya yang sangat diharapkan tak akan pernah punah.