Kerajaan Medang - Kahuripan




Panggung sejarah pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, dengan Rajanya Mpu Sindok ( 929-947 ).
Mpu Sindok adalah pendiri kerajaan sekaligus pendiri Dinasti Isyana, yang menurunkan Raja-Raja Medang.
Kitab Suci Budha ( Sang Hyang Kamahayanikan ) yang menguraikan tentang ajaran dan ibadah agama Budha Tantrayana dapat dihimpun selama Mpu Sindok berkuasa, walaupun ia beragama Hindu.


Mpu Sindok, yang merupakan raja terakhir dari Dinasti Sanjaya, berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno. Mpu Sindok memindahkan pusat Kerajaan Mataram ke Jawa Timur diduga karena letusan Gunung Merapi.
Kerajaan baru ini tidak lagi disebut Mataram, melainkan Medang ( meski beberapa literatur masih menyebut Mataram ).

Mpu Sindok memiliki dua istri, salah satunya bernama Sri Parameswari Dyah Kbi, yang mungkin adalah puteri Dyah Wawa, raja terakhir Mataram di Jawa Tengah. Jadi, Mpu Sindok menjadi suksesor Kerajaan Mataram karena pernikahannya. 
Ia tidak menggunakan gelar Raja ( Sri Maharaja Rake Hino Sri Icana Wikramadharmottunggadewa ), tetapi menyebut dirinya Rakryan Sri Mahamantri Mpu Sindok Sang Srisanottunggadewawijaya ( penguasa tertinggi setelah raja ). 

Sebuah prasasti yang kini disimpan di Museum Calcutta (India), menyebutkan silsilah Mpu Sindok hingga Airlangga.



Penggantinya adalah putrinya Sri Icanatunggawijaya yang bersuamikan Raja Lokapola. Lalu dilanjutkan oleh Makutawangsawardhana yang digambarkan sebagai Matahari dalam keluarga Istana. Selanjutnya ia mempunyai anak perempuan bernama Mahendradatta atau Gunapriyadharmapatni yang bersuamikan Raja Udayana dari keluarga Warmadewa yang memerintah di Bali.

Raja terakhir Medang adalah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa ( 991-1016 ). Dharmawangsa dikenal sebagai patron penerjemahan Kitab Mahabharata ke dalam Bahasa Jawa Kuno. Pada masa ini pula, Carita Parahyangan ditulis dalam Bahasa Sunda, yang menceritakan kerajaan Sunda dan Galuh. 
Dharmawangsa mengadakan sejumlah penaklukan, termasuk Bali dan mendirikan koloni di Kalimantan Barat. Tahun 990, Dharmawangsa mengadakan serangan ke Sriwijaya dan mencoba merebut Palembang, namun gagal.

Pada tahun 1006, Sriwijaya melakukan pembalasan, yakni menyerang dan menghancurkan istana Watugaluh. Dharmawangsa terbunuh, dan beberapa pemberontakan mengikutinya dalam beberapa tahun ke depan. Airlangga, putera Mahendradatta yang masih berusia 16 tahun, berhasil melarikan diri dan kelak akan menjadi Raja pertama Kerajaan Kahuripan, suksesor Mataram Kuno dan Medang.

Pada Prasasti Calcutta juga ceritakan bahwa, seluruh Jawa bagaikan satu lautan yang dimusnahkan oleh Raja Wurawari, diduga bahwa yang berdiri di belakangnya sebenarnya adalah Sriwijaya. 
Tapi ada yang lolos dari kehancuran tersebut, yaitu Airlangga, putra Mahendradatta Raja Bali, beserta Narottama bersembunyi di Wonogiri ( dengan para pertapa ), yang setelah dewasa kawin dengan sepupunya, anak dari Dharmawangsa.

Sekitar tahun 1010 Mahendradatta meninggal, Udayana berjalan tanpa adanya Raja hingga tahun 1022, karena anak sulungnya yang bernama Airlangga menggantikan Dharmawangsa untuk memerintah di Jawa Timur, maka anak bungsunya bernama Anak Wungsu akhirnya memerintah di Bali, dengan nama Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewa.

Di tahun 1019 Airlangga dinobatkan oleh para Pendeta Buddha, Siwa dan Brahmana, menggantikan Dharmawangsa, bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. 
Ia memulai perintahan dengan daerah sangat kecil, karena saat Kerajaan Dharmawangsa hancur, menjadi terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.



Pada tahun 1028 Airlangga mulai merebut kembali daerah-daerah yang pernah diduduki saat pemerintahan Dharmawangsa. Hal ini kemungkina terjadi karena ada hubungannya dengan kelemahan pada Kerajaan Sriwijaya pada saat itu, yang baru saja diserang Kerajaan Colamandala ( 1023 dan 1030 ) dari India. 

Raja-Raja yang ditaklukkan itu adalah Bhismaprabhawa ( 1028-1029 ), Wijaya dari Wengker ( 1030 ), Adhamapanuda ( 1031 ), seorang Raja Perempuan seperti Raksasa ( 1032 ), Wurawari ( 1032 ) dan Raja Wengker ( 1035 ) yang sempat muncul lagi.

Kemakmuran dan ketentraman pemerintahan Airlangga ( dibantu oleh Narottama / Rakryan Kanuruhan dan Niti / Rakryan Kuningan) yang pada tahun 1031 beribukota di Wwatan Mas, kemudian dipindahkan ke Kahuripan di tahun 1031, diikuti dengan tumbuhnya Seni Sastra, antara lain: Kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa tahun 1030, yang berisi cerita tentag perkawinan Arjuna dengan para bidadari hadiah para Dewa atas jerih payahnya mengalahkan para raksasa yang menyerang Kayangan ( kiasan hasil usaha Airlangga sendiri yang merupakan persembahan penulis kepada Raja ). 
Ini juga pertama kali keterangan Wayang dijumpai, walau sebetulnya diperkirakan sudah ada sebelum Airlangga.

Anak perempuan Airlangga yaitu Sanggramawijaya, ditetapkan sebagai Mahamantri I Hino ( yang berkedudukan tertinggi setelah Raja ), setelah tiba masanya menggantikan Airlangga, Sanggramawijaya menolak dan memilih sebagai pertapa. 
Yang oleh Airlangga didirikanlah sebuah pertapaan di daerah Pucangan ( gunung Penanggungan ), dengan gelar Kili Suci.

Kepergian Putri Mahkotanya, dan untuk mencegah perebutan takhta, menyebabkan Airlangga membagi dua kerajaan kepada kedua anak laki-lakinya, dengan pertolongan seorang Brahmana bernama Mpu Bharada yang sakti. 
Kedua kerajaan itu adalah: Janggala beribukota Kahuripan dan Panjalu (Kadiri) beribukota Daha, dimana Gunung Kawi ke Utara dan Selatan menjadi batasnya.



Setelah membagi dua kerajaannya, Airlangga mundur diri dan menjadi pertapa dengan nama Resi Gentayu, kemudian meninggal pada tahun 1049 dan dimakamkan di Tirtha, di lereng Timur Gunung Penanggungan dan terkenal sebagai Candi Belahan. 

Tetapi kurang lebih setengah abad sejak Airlangga mundur dari pemerintahan, tidak ada informasi tentang dua kerajaan yang dibentuknya itu. Lalu setelah itu hanya Kadiri yang mengisi sejarah, sedangkan Janggala tidak ada peninggalan apapun yang menjelaskannya. 

Airlangga semasa hidupnya dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu, dengan lancana Kerajaan Garudamukha yang pada sebuah arca indah disimpan di Musium Mojokerto mewujudkan Airlangga sebagai Wisnu yang menaiki garuda.