Raja - Raja Tanah Jawa





MATARAM KUNO

Dinasti Cailendra


* Sri Indrawarman (752-775)
* Wisnuwarman (775-782)
* Daranindra (Sri Wirarairimathana (782-812)
* Samaratungga (812-833)
* Pramodhawardhani (833-856), menikah dengan Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya)


Dinasti Sanjaya

* Sanjaya (Sanjaya) (732-7xx)
* Rakai Panangkaran : Dyah Pancapana (Cailendra)
* Rakai Panunggalan
* Rakai Warak
* Rakai Garung
* Rakai Patapan (8xx-838)
* Rakai Pikatan (838-855), mendepak Dinasti Cailendra
* Rakai Kayuwangi (855-885)
* Dyah Tagwas (885)
* Rakai Panumwangan Dyah Dewendra (885-887)
* Rakai Gurunwangi Dyah Badra (887)
* Rakai Watuhumalang (894-898)
* Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910)
* Daksa (910-919)
* Tulodong (919-921)
* Dyah Wawa (924-928)
* Mpu Sindok (928-929), memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur (Medang)



Medang


* Mpu Sindok (929-947)
* Sri Isyanatunggawijaya (947-9xx)
* Makutawangsawardhana (9xx-985)
* Dharmawangsa Teguh (985-1006)

Kahuripan

* Airlangga (1019-1045), mendirikan kerajaan di reruntuhan Medang
      (Airlangga kemudian memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua)

Kadiri

(Tidak diketahui silsilah raja-raja Kadiri hingga tahun 1116)

* Kameswara (1116-1135), mempersatukan kembali Kadiri dan Panjalu
* Jayabaya (1135-1159)
* Rakai Sirikan (1159-1169)
* Sri Aryeswara (1169-1171)
* Sri Candra (1171-1182)
* Kertajaya (1182-1222)


Singhasari


* Ken Arok (1222-1227)
* Anusapati (1227-1248)
* Tohjaya (1248)
* Ranggawuni (Wisnuwardhana) (1248-1254)
* Kertanagara ( 1254-1292)



Majapahit

* Raden Wijaya (Sri Kertarajasa Jayawardhana) (1293-1309)
* Jayanagara (1309-1328)
* Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350)
* Hayam Wuruk (Rajasanagara) (1350-1389)
* Wikramawardhana (1390-1428)
* Suhita (1429-1447)
* Dyah Kertawijaya (1447-1451)
* Rajasawardhana (1451-1453)
* Girishawardhana (1456-1466)
* Singhawikramawardhana (Suraprabhawa) (1466-1474)
* Girindrawardhana Dyah Wijayakarana(1468-1478)
* Singawardhana Dyah Wijayakusuma 
     (menurut Pararaton menjadi Raja Majapahit 4 bulan sebelum wafat secara  
      mendadak) (? – 1486)    
* Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhre Kertabumi 
                                   (Brawijaya, menurut Kitab Pararaton ) (1474-1519)

Demak

* Raden Patah (1478 – 1518)
* Pati Unus (1518 – 1521)
* Sultan Trenggono (1521 – 1546)
* Sunan Prawoto (1546 – 1549)

Kesultanan Pajang

* Jaka Tingkir, bergelar Sultan Hadiwijoyo (1549 – 1582)
* Arya Pangiri, bergelar Sultan Ngawantipuro (1583 – 1586)
* Pangeran Benawa, bergelar Sultan Prabuwijoyo (1586 – 1587)
* R.Aj.Sarakusuma, bergelar Sultan Sarakusuma (1587-1598)
* R.M.Sarakusuma bergelar Sultan Sarakusuma (1598-1603)
* R.M.Bardani bergelar Sultan Bardani (1603-1669)
* R.M.Patrananggabergelar Sultan Prabu Patranangga (1669-1700)
* R.Ranajuda I bergelar Sultan Ranauda I (1700-1731)
* R.Ranajuda II bergelar Sultan Ranajuda II (1731-1790)
* R.Ngt.Tirtadranabergelar Sultan Tirtadrana (1790-1842)
* R.Ngt.Kartadiwirjabergelar Sultan Kartadiwirja (1842-1900)
* R.Kartadimadjabergelar Sultan Kartadimadja (1900-1950)
* R.Ngt.Suto Subrotobergelar Sultan Prabu Mangkir (1950-1990)
* R.Haryonobergelar Sultan Malih Pasang (1990-2008)
* R.Ngt.A.Wahyu Ningrat bergelar Sultan Prabu Hadiwijoyo II (2008-sekarang)



MATARAM BARU


Mataram Baru atau juga disebut sebagai Mataram Islam

* Ki Ageng Pamanahan, menerima tanah perdikan Mataram dari Jaka Tingkir
* Panembahan Senopati (Raden Sutawijaya) (1587 – 1601), menjadikan Mataram sebagai 
      kerajaan merdeka.
* Panembahan Hanyakrawati (Raden Mas Jolang) (1601 – 1613)
* Adipati Martapura (1613 selama satu hari)
* Sultan Agung (Raden Mas Rangsang / Prabu Hanyakrakusuma) (1613 – 1645)
* Amangkurat I (Sinuhun Tegal Arum) (1645 – 1677)

Kasunanan Kartasura

1. Amangkurat II (1680 – 1702), pendiri Kartasura.
2. Amangkurat III (1702 – 1705), dibuang VOC ke Srilangka.
3. Pakubuwana I (1705 – 1719), pernah memerangi dua raja sebelumya; juga dikenal dengan nama
       Pangeran Puger.
4. Amangkurat IV (1719 – 1726), leluhur raja-raja Surakarta dan Yogyakarta.
5. Pakubuwana II (1726 – 1742), menyingkir ke Ponorogo karena Kartasura diserbu pemberontak;
       dan mendirikan Surakarta.



Kasunanan Surakarta

1. Pakubuwana II (1745 – 1749), pendiri Surakarta; memindahkan keraton Kartasura ke Surakarta
2. Pakubuwana III (1749 – 1788), mengakui kedaulatan Hamengkubuwana I sebagai penguasa setengah 
         wilayah kerajaannya.
3. Pakubuwana IV (1788 – 1820)
4. Pakubuwana V (1820 – 1823)
5. Pakubuwana VI (1823 – 1830), diangkat sebagai pahlawan nasional Indonesia; juga dikenal dengan 
         nama Pangeran Bangun Tapa.
6. Pakubuwana VII (1830 – 1858)
7. Pakubuwana VIII (1859 – 1861)
8. Pakubuwana IX (1861 – 1893)
9. Pakubuwana X (1893 – 1939)
10. Pakubuwana XI (1939 – 1944)
11. Pakubuwana XII (1944 – 2004)
12. Gelar Pakubuwana XIII (2004 – sekarang) 
         Diklaim oleh dua orang, Pangeran Hangabehi dan Pangeran Tejowulan.



Kasultanan Yogyakarta

Hamengkubuwana atau Hamengkubuwono atau Hamengku Buwono atau lengkapnya Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalogo Ngabdurahman Sayiddin Panotogomo Khalifatullah adalah gelar bagi raja Kesultanan Yogyakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta. 


Dinasti Hamengkubuwana tercatat sebagai dinasti yang gigih memperjuangkan kemerdekaan pada masa masing-masing, antara lain Hamengkubuwana I atau nama mudanya Pangeran Mangkubumi, kemudian penerusnya yang salah satunya adalah ayah dari Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana III. Sri Sultan Hamengkubuwana IX pernah menjabat sebagai wakil presiden Indonesia yang kedua.

1. Sri Sultan Hamengkubuwono I 13/11/1755-24/3/1792
2. Sri Sultan Hamengkubuwono II 2/4/1792-akhir 1810 periode I
3. Sri Sultan Hamengkubuwono III akhir 1810-akhir 1811 periode I
        Sri Sultan Hamengkubuwono II akhir 1811-20/6/1812 periode II
        Sri Sultan Hamengkubuwono III 29/6/1812-3/11/1814 periode II
4. Sri Sultan Hamengkubuwono IV 9/11/1814-6/12/1823
5. Sri Sultan Hamengkubuwono V 19/12/1823-17/8/1826 periode I
        Sri Sultan Hamengkubuwono II 17/8/1826-2/1/1828 periode III
        Sri Sultan Hamengkubuwono V 17/1/1828-5 /6/1855 periode II
6. Sri Sultan Hamengkubuwono VI 5 Juli 1855 20 Juli 1877
7. Sri Sultan Hamengkubuwono VII 22/12/1877-29/1/1921
8. Sri Sultan Hamengkubuwono VIII 8/2/1921-22/10/1939
9. Sri Sultan Hamengkubuwono IX 18/3/1940-2/10/1988
10. Sri Sultan Hamengkubuwono X 7/31989-sekarang



Praja Mangkunagaran di Surakarta


1. Mangkunagara I (Raden Mas Said) (1757 – 1795)
2. Mangkunagara II (1796 – 1835)
3. Mangkunagara III (1835 – 1853)
4. Mangkunagara IV (1853 – 1881)
5. Mangkunagara V (1881 – 1896)
6. Mangkunagara VI (1896 – 1916)
7. Mangkunagara VII (1916 -1944)
8. Mangkunagara VIII (1944 – 1987)
9. Mangkunagara IX (1987 – sekarang)



Kadipaten Paku Alaman di Yogyakarta


1. Paku Alam I (1813 – 1829)  Dinobatkan oleh Sir Thomas Raffles.
2. Paku Alam II (1829 – 1858)
3. Paku Alam III (1858 – 1864)
4. Paku Alam IV (1864 – 1878)
5. Paku Alam V (1878 – 1900)
6. Paku Alam VI (1901 – 1902)
7. Paku Alam VII (1903 – 1938)
8. Paku Alam VIII (1938 – 1998)
9. Paku Alam IX (1998 – sekarang)

Mataram Islam





Setelah Panembahan Senopati wafat, penggantinya adalah putranya dari perkawinannya dengan Ratu Hadi (Putri Pangeran Benowo) yang bernama Mas Jolang, berjuluk Panembahan Seda Krapyak dan bergelar Sultan Hanyokrowati (1601-1613), yang banyak menghadapi pemberontakan. 
Kegagalannya menaklukkan Surabaya walau di berbagai daerah berhasil, menyebabkan ia wafat di tahun 1613 dan dimakamkan di Kota Gede. Kemudian, anaknya yang menggantikan yaitu Adipati Martapura yang sakit-sakitan segera digantikan oleh saudaranya bernama Raden Rangsang yang berjuluk Sultan Agung Hanyokrokusuma (1613-1646).




Di bawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram mengalami kejayaan, terhormat dan disegani sampai di luar Jawa. Karaton yang semula di Kerta dipindahkan ke Plered. Musuh bebuyutan Mataram yaitu Surabaya, dapat ditaklukkan. Sukadana-Kalimantan dapat juga ditundukkan. Madura dibuat tidak berdaya dan Sultan mengangkat adipati Sampang menjadi adipati Madura yang bergelar pangeran Cakraningrat I. 

Akhirnya seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur bernaung di bawah Panji-Panji Mataram, yang salah satu cara untuk mengikat para Adipati adalah dengan mengawinkan putri-putri Mataram dengan mereka. Malah Sultan sendiri mengawini putri Cirebon, yang mengakibatkan Cirebon juga dapat ia kuasai. Namun Cita-citanya mempersatukan Jawa terganjal Kompeni Belanda yang berada di Batavia, sehingga untuk menaklukkan Banten yang tidak mau mengakuinya harus melenyapkan Kompeni terlebih dahulu. Maka disusunlah strategi penyerangan.

Saat Gubernur Jenderal dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen sekaligus wakil V.O.C.(Verrenigde Oost- Indische Compagni), Kompeni di tahun 1928 diserang Mataram walau mengalami kegagalan merobohkan benteng Belanda, akibat perbekalan pasukan yang habis, di samping Banten yang juga musuh Kompeni tapi hanya janji kosong ikut menyerang.



Tanpa putus asa, Sultan menyerang kembali di tahun 1929, dengan mempersiapkan perahu-perahu berisi beras di sekitar perairan Batavia serta membuat gudang-gudang beras di Cirebon dan Kerawang. Tapi ia gagal lagi, pasukannya kelaparan dan terjangkit berbagai penyakit akibat kalahnya perahu-perahunya dengan kapal-kapal Belanda serta gudang-gudang beras yang dibakar oleh mata-mata musuh, walau Coen yang kagum terhadap pasukan Mataram wafat saat Batavia dikepung pasukan Mataram.

Tanpa lelah, Sultan Agung melakukan penyerangan kembali, dengan sebelumnya mengirim penduduk Jawa Tengah dan Sumedang untuk membabat hutan belukar di Krawang menjadi daerah pertanian serta membuat jalan-jalan yang berhubungan dengan Mataram. Selain itu ia juga bersekutu dengan orang-orang Portugis di Malakka dan orang-orang Inggris di Banten, untuk mempersulit pengiriman beras ke Batavia dan pedagang-pedagang yang biasa ke Batavia ia alihkan langsung ke Malakka. 

Tapi Saat sedang konsentrasi kepada Kompeni, ada pemberontakan dari Sunan Giri yang ingin berkuasa di Jawa Timur, yang akhirnya berhasil ia redam termasuk Blambangan yang dapat ditaklukkan walau tidak lama kemudian bergabung kembali dengan Bali. Sementara itu Belanda semakin kuat dan menguasai laut dengan mengalahkan orang-orang Portugis
.
Saat giat-giatnya Sultan mempersiapkan penyerangan untuk menghapus Belanda, tanpa disangka ia wafat (1646), sehingga menggagalkan cita-citanya dalam membasmi Kompeni. Yang menarik juga, ia dikenal bukan saja sebagai raja besar dan panglima ulung, tapi juga sebagai orang Islam yang ta’at beribadah dan menjadi contoh dalam kerajinannya dalam sholat Jum’at.

Di tahun 1633 ia mengadakan tarikh baru yaitu dari tarikh Saka yang berdasarkan Tahun Matahari (1 tahun = 365 hari) menjadi tarikh Jawa-Islam yang berdasarkan tahun bulan (1 tahun = 354 hari), sesuai Tarikh Islam. Tahun 1633 itu adalah tahun Saka 1555 dan tahun Saka ini menjadi tahun Jawa-Islam 1555 pula. Sedangkan untuk memperkokoh dirinya sebagai pemimpin Islam, ia mengirim utusan ke Mekkah dan yang di tahun 1641 kembali dengan membawa para ahli agama untuk menjadi penasehat Karaton dan memperoleh gelar Sultan ‘Abdul Muhammad Maulana Matarami.

Pengganti Sultan Agung adalah Amangkurat Agung / Amangkurat I (1646-1677) atau juga dikenal sebagai Sunan Seda Tegalarum yang bertahta di Kartasura, dan selanjutnya digantikan oleh Amangkurat Amral / Amangkurat II (1677-1703), kemudian Amangkurat Mas / Amangkurat III (1703-1704), seterusnya pangeran Puger / Sunan Pakoeboewono I (1708-1719), Amangkurat Jawi / Mangkurat IV (1719-1727), yang dilanjutkan oleh Sunan Pakoeboewono II (1727-1745) dan memindahkan Karaton ke Surakarta (1745-1749). 
Namun saat digantikan putranya yaitu Sunan Pakoeboewono III (1749-1788), Mataram yang daerahnya sudah semakin sempit akibat kelihaian Belanda terpecah menjadi 2 (dua), yaitu satunya Surakarta tetap diperintah Sunan Pakoeboewono III, sedangkan Yogyakarta diberikan kepada pamannya sendiri yang bergelar Sultan Hamengkoeboewono I (1755-1792).

Putra dari Pangeran Mangkunagara (salah satu putra Amangkurat IV) yaitu Raden Mas Said atau dikenal dengan julukan Pangeran Sambernyawa, walau sangat tangguh melawan Kompeni tapi juga rasa hormat terhadap Pakoeboewono III, akhirnya bersedia bersepakat yang mana Raden Mas Said diberi kekuasaan serupa Raja, tapi dengan beberapa pengecualian.

Ia bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria Mangkunagoro I dan berkedudukan di pura Mangkunegaran - Surakarta (1757-1795). Ini, merupakan hasil dari perjanjian Giyanti. Sedangkan di Yogyakarta pada tahun 1812 beberapa putra Sultan, selain ada yang menggantikan dirinya menjadi Sultan Hamengkoeboewono II (1792-1812), maka salah satu putranya di tahun 1812 yang barangkali untuk sepadan dengan Surakarta diangkat dan dibentuk pura sejenis Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria (KGPAA) Paku Alam I (1812-1828).



Karya Kesusasteraan mengenai riwayat pecahnya kerajaan Mataram dalam tahun 1755 dan 1757 yang berubah menjadi Kasultanan Yogyakarta serta Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran, ada pada riwayat Babad Giyanti karangan Yasadipura, yang betul-betul sebuah sejarah dan sangat menarik dan menceritakan tentang pecahnya Mataram..

Sejak tahun 1945, Kerajaan di Surakarta dan di Yogyakarta, mengakui dan melebur menjadi satu dengan Republik Indonesia, sehingga Karaton-Karaton tersebut disepakati hanya sebagai semacam institusi kekerabatan keluarga besar Karaton masing-masing, disamping ditetapkan oleh pemerintah sebagai cagar budaya. 
Kemudian di tahun 2000 ini pimpinan dari Karaton Surakarta adalah Sunan Pakubuwono XII, pura Mangkunegaran adalah K.G.P.A.A. Mangkunagoro IX, Karaton Yogyakarta adalah Sultan Hamengkubuwono X dan pura Pakualaman adalah K.G.P.A.A. Paku Alam IX, dengan segala warisan budayanya yang sangat diharapkan tak akan pernah punah.


Kerajaan Pajang




Joko Tingkir sebagai Raja bergelar Sultan Hadiwijaya (1568-1582), kedudukannya disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat pengakuan dari Adipati-Adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan salah seorang anak Sultan Prawoto yaitu Arya Pangiri diangkat menjadi Adipati Demak


Selain itu, salah seorang yang paling berjasa dalam membinasakan Arya Penangsang yaitu Kyai Ageng Pemanahan ( putra dari Kyai Ageng Anis, yang mana Anis adalah putra Kyai Ageng Selo ) diberi imbalan daerah Mataram ( sekitar kota Gede dekat Yogyakarta ) untuk ditinggali, yang juga membuat namanya lebih dikenal dengan panggilan Kyai Gede Mataram.

Kyai / Ki Ageng Pemanahan dalam waktu singkat mampu membuat Mataram beserta rakyatnya maju. Namun sebelum dapat ikut menikmati hasil, usahanya dilanjutkan oleh sang anak yaitu Sutowijoyo ( terkenal sebagai ahli peperangan yang nantinya ia lebih dikenal bernana Senapati ing Alaga / Panglima Perang ), di tahun 1575 Ki Ageng Pemanahan meninggal. 

Tujuh tahun kemudian (1582) Joko Tingkir meninggal, dan Pangeran Benowo seharusnya menggantikannya disingkirkan oleh Arya Pangiri dan akhirnya hanya jadi Adipati di Jipang.



Arya Pangiri diserang oleh Sutowijoyo yang dibantu Pangeran Benowo, dan Sutowijoyo memindahkan Karaton Pajang ke Mataram dan ia menjadi Raja bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). 
Panembahan Senopati meninggal pada tahun 1601 dimakamkan di Kota Gede, setelah berhasil meletakkan dasar-dasar kerajaan Mataram.

Kerajaan Demak


                                                        
Pada sekitar tahun 1500, seorang Bupati Demak, putra dari Brawijaya dengan Putri Campa, yang beragama Islam, bernama Raden Patah / Jin Bun / R. Bintoro, secara terbuka memutuskan ikatan dari Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi.
Dan atas bantuan daerah-daerah lain yang telah beragama Islam ( seperti Gresik, Tuban dan Jepara ), ia mendirikan Kerajaan Islam yang berpusat di Demak.

Putra Brawijaya lain bernama Bondan Kejawan / Lembupeteng di Tarub mengawini Rr. Nawangsih ( Putri Joko Tarub dan Rr. Nawangwulan ) dan mempunyai cucu bernama Kyai Ageng Getas / R. Depok di Pandowo, yaitu Kyai Ageng Selo / Bagus Songgom / Risang Sutowijoyo / Syeih Abdurrahman.
Putra lain dari Brawijaya yang bernama Lembupeteng juga berkedudukan di Gilimangdangin / Sampang, mempunyai cucu buyut bernama Raden Praseno yang menjadi Adipati Sampang, berjuluk Cakraningrat I, kemudian putranya yang bernama Pangeran Undakan menggantikannya dan bergelar Cakraningrat II, sedang putra yang satunya memiliki anak bernama Trunojoyo.

Sedang putri dari Brawijaya yaitu Ratu Pambayun menikah dengan Pangeran. Dayaningrat dan mempunyai 2 (dua) anak bernama Kebokanigoro dan Kebokenongo / Ki Ageng Pengging yang menjadi teman dekat seorang wali kontraversial yaitu Syeh Siti Jenar.

Raden Patah akhirnya meruntuhkan Majapahit dan menjadi sebagai Raja Islam pertama bergelar Sultan Demak, dan mencapai kejayaanya.



Raden Patah wafat pada tahun 1518 dan digantikan oleh putranya bernama Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor yang hanya memerintah selama 3 tahun.
Pati Unus digantikan saudaranya yaitu Pangeran Trenggono bergelar Sultan Demak yang memerintah hingga tahun 1548. Dalam pemerintahannya Trenggono mampu memperluas Kerajaan sampai di daerah Pasai Sumatra Utara yang dikuasai Portugis, dimana seorang ulama dari Pasai bernama Fatahillah menyeberang ke Demak dan dikawinkan dengan adik Raja.

Berkat Fatahillah pula, Demak berhasil merebut daerah perdagangan Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat yang belum beragama Islam, yaitu Cirebon dan Banten ( akhirnya diserahkan kepada Fatahillah oleh Kerajaan Demak ).
Pada tahun 1522 Portugis datang ke Sunda Kalapa ( Jakarta ) dan bekerja sama dengan Raja Pajajaran dalam menghadapi Islam, sehingga Portugis diijinkan mendirikan Benteng di Sunda Kalapa. 
Kekalahan Portugis di tahun 1527 oleh Fatahillah membuat Portugis meninggalkan Sunda Kelapa yang sudah berubah nama menjadi Jayakarta.

Sedangkan Trenggono walaupun berhasil menalukkan sebagian wilayah Jawa, tapi daerah Pasuruan serta Panarukan dapat bertahan dan Blambangan tetap menjadi bagian dari Bali yang tetap Hindu. Dan pada tahun 1548 Sultan Trenggono wafat akibat perang dengan Pasuruan.

Wafatnya Trenggono menimbulkan perebutan kekuasaan antara kedua adiknya. Suksesi ke tangan salah satu adiknya bernama Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Ia ditentang oleh adik Sultan Trenggono, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Pangeran Sekar Seda Lepen akhirnya terbunuh. 
Pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya "dihabisi" oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri adipati Jepara, dan hal ini menyebabkan banyak adipati memusuhi Arya Penangsang.

Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul kekacauan dimana-mana. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari Adipati Japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya menentang Arya Panangsang, yang salah satu dari Adipati itu bernama Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono.

Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi Raja pertama di Pajang.
Dengan demikian, habislah riwayat Kerajaan Islam Demak. 
dalam menceritakan sejarah Kerajaan Demak, perlulah menceritakan tentang kedatangan Islam di Jawa serta keberadaan Wali Sanga saat berkuasanya Demak.



Kedatangan Islam ke Jawa


Di Gresik (daerah Leran) ditemukan batu bertahun 1082 Masehi berhuruf Arab yang menceritakan bahwa telah meninggal seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang beragama Islam. Lalu disekitar tahun 1350 saat memuncaknya kebesaran Majapahit, di pelabuhan Tuban dan Gresik banyak kedatangan para pedagang Islam dari India dan dari kerajaan Samudra (Aceh Utara) yang juga awalnya merupakan bagian dari Majapahit, disamping para pedagang Majapahit yang berdagang ke Samudra. Juga menurut cerita, ada seorang putri Islam berjuluk Putri Cempa dan Putri Cina yang menjadi isteri salah satu raja Majapahit.

Sangat toleransinya Majapahit terhadap Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam Kerajaan Majapahit terdapat batu nisan bertuliskan tahun 1369 ( saat Hayam Wuruk memerintah ). 
Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti Kurawal yang mengingatkan Kala-Makara, bertulisan angka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat.

Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat Kerajaan Demak.


Wali Sanga


Sebagai penyiar penting yang sangat giat menyebarkan agama Islam, mereka dijuluki Wali-Ullah dan di Jawa dikenal sebagai Wali Sanga (9), yang merupakan Dewan Dakwah / Mubaligh. Kelebihan mereka dibanding kepercayaan / agama penduduk lama adalah tentang kekuatan bathin yang lebih, ilmu yang tinggi dan tenaga gaib.


Mereka tidak hanya berkuasa dalam agama, tapi juga dalam hal pemerintahan dan politik. Menurut Kitab Kanzul Ulum Ibnul Bathuthah, Wali Sanga berganti susunan orangnya sebanyak 5 (lima) kali.

Syeh Siti Jenar adalah wali kontraversial, dari mulai asal muasal yang muncul dengan berbagai versi, ajarannya dianggap menyimpang dari agama Islam tapi sampai saat ini masih dibahas di berbagai lapisan masyarakat, masih ada pengikutnya, sampai dengan kematiannya yang masih dipertanyakan caranya termasuk dimana ia wafat dan dimakamkan. Syeh Siti Jenar wafat bunuh diri atau dihukum mati.

Kerajaan Majapahit (sambungan)


                                              

Selain sebagai seorang negarawan, Gajah mada terkenal pula sebagai ahli hukum.
Kitab hukum yang ia susun sebagai dasar hukum di Majapahit adalah Kutaramanawa, yang merupakan penyempurnaan dari Kitab Hukum Kutarasastra (lebih tua) dan Kitab Hukum Hindu Manawasastra, serta disesuaikan dengan hukum adat yang berlaku.

Gajah Mada meninggal pada tahun 1364, dan digantikan oleh 4 (empat) orang Menteri yang berfungsi untuk mengekalkan Negara dan meningkatkan kemakmuran rakyat serta keamanan daerah.

Beberapa hasil semasa Hayam Wuruk antara lain:

* Pemeliharaan tempat-tempat penyeberangan melintasi bengawan Solo dan Brantas;
* Perbaikan bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri);
* Memperindah Candi untuk Tribhuwanottunggadewi di Panggih;
* Perbaikan dan perluasan tempat suci Palah (Panataran);
* Penyempurnaan Candi Jabung dekat Kraksaan (1354);
* Membuat Candi Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365);
* Membuat Candi Pari ( dekat Porong ) bercorak dari Campa di tahun 1371;
* Kitab Nagarakrtagama yang merupakan kitab sejarah Singhasari dan Majapahit, dihimpun oleh
         Mpu Prapanca di tahun 1365;
* Cerita-cerita Arjunawijaya dan Sutasoma oleh Tantular;
* Hancurnya Kerajaan Sriwijaya pada tahun 1377, oleh serangan Majapahit.




Hayam Wuruk wafat pada tahun 1369, dan dimuliakan di Tayung ( daerah Brebek Kediri ), ia kemudian digantikan oleh keponakannya, Wikramawardhana, suami dari anak perempuannya, Kusumawarddhani. 
Sedangkan anak Hayam Wuruk dari isteri bukan permaisuri, Bhre Wirabhumi, diberi pemerintahan di ujung Jawa Timur.

Wikramawardhana ( 1369-1428 ) dan Wirabhumi di tahun 1401-1406 berebut kekuasaan, yang dikenal dengan Perang Paregreg, dimana Wirabhumi tewas terbunuh. 
Disini Tiongkok mengetahui bahwa perang saudara tersebut telah melemahkan Majapahit, dan berusaha memikat daerah-daerah luar Jawa untuk mengakui kedaulatannya. 


Misalnya Kalimantan Barat yang pada tahun 1368 telah diganggu oleh Bajak Laut dari Sulu sebagai alat dari Kaisar Tiongkok, karena Sulu sejak tahun 1405 telah tunduk kepada Tiongkok. 
Juga Kerajaan Palembang dan Kerajaan Malayu di tahun yang sama, telah mengarahkan pandangannya ke Tiongkok dengan tidak menghiraukan Majapahit. 
Malaka sebagai pelabuhan dan kota dagang penting, yang beragama Islam ( 1400 ), telah menganggap Majapahit sudah hilang. Demikian pula daerah-daerah lainnya yang dalam kesehariannya tidak banyak berhubungan dengan pusat. 

Sehingga saat Wikramawardhana meninggal pada tahun 1428, kebesaran Kerajaan Majapahit  sudah tidak ada lagi. 
Dalam bukunya yang berjudul Ying-Yai Sheng-Lan, Ma Huan saat mengiringi Cheng-Ho ( utusan kaisar Tiongkok ke Jawa ) dalam perjalananya yang ketiga ke daerah-daerah Lautan Selatan, menuliskan antara lain :

* Kota Majapahit dikelilingi tembok tinggi yang dibuat dari bata;
* Penduduknya kira-kira 300.000 keluarga;
* Rakyat memakai kain dan baju;
* Laki-laki mulai memakai keris yang hulunya indah sekali dan terbuat dari emas, cula badak atau gading;
* Para pria jika bertengkar dalam waktu singkat siap dengan kerisnya;
* Biasa memakan sirih;
* Para pria pada setiap perayaan mengadakan perang-perangan dengan tombak bambu;
* Munculnya pertunjukan wayang beber (di atas sehelai kain, dibentangkan antara dua bilah kayu, Dalang);
* Penduduk terdiri dari 3 (tiga) golongan, orang-orang Islam yang datang dari barat dan memperoleh penghidupan di ibukota, orang-orang Tionghoa yang banyak pula beragama Islam, dan rakyat selebihnya yang menyembah berhala dan tinggal bersama anjing mereka.

Setelah wafatnya Wikramawardhana di tahun 1429, hingga tahun 1522 tidak banyak diketahui tentang Majapahit, sedangkan keterangan dari Pararaton sangat kacau. 
Yang nyata, Bintang Majapahit yang sebelumnya telah mempersatukan Nusantara sudah meredup dan suram, yang ditandai dengan perang saudara antar keluarga Raja, hilangnya kekuasaan pusat di daerah, dan adanya penyebaran agama Islam yang sejak sekitar tahun 1400 berpusat di Malaka, disertai timbulnya kerajaan-kerajaan Islam yang menentang kedaulatan Majapahit.



Setelah wafatnya Wikramawardhana, pemerintahan dilanjutkan oleh anak perempuannya bernama Suhita (1429-1447), dimana ibunya adalah anak dari Wirabhumi. 
Masa pemerintahannya ditandai dengan berkuasanya kembali anasir-anasir Indonesia, antara lain didirikannya berbagai tempat pemujaan dengan bangunan-bangunan yang disusun sebagai punden berundak-undak di lereng-lereng gunung ( misalnya Candi Sukuh dan Candi Ceta di lereng gunung Lawu). 
Selain itu terdapat pula batu-batu untuk persajian, tugu-tugu batu seperti menhir, gambar-gambar binatang ajaib yang memiliki arti sebagai lambang tenaga gaib, dan lain-lain.

Suhita digantikan oleh adik tirinya, Kertawijaya (1447-1451). Setelah pemrintahan Kertawijaya di tahun 1451, sejarah pergantian Raja-Rajanya Majapahit tidak dapat diketahui dengan pasti. 

Dari Kitab Pararaton disebutkan bahwa Raja Suwardhan menggantikan Kertawijaya, tetapi ia ber-Karaton di Kahuripan dari tahun 1451 sampai 1453. 
Setelah tiga tahun tanpa Raja, lalu dilanjutkan oleh Bre Wengker ( 1456-1466 ) bergelar Hyang Purwawisesa. Di tahun 1466 ia digantikan oleh Bhre Pandansalas yang nama aslinya Suraprabhawa dan bernama resmi Singhawikramawardhana, ber-Karaton di Tumapel selama 2 (dua) tahun. 

Pada tahun 1468 Singhawikramawardhana terdesak oleh Kertabhumi ( anak bungsu Rajasawardhana ), Kertabhumi kemudian berkuasa di Majapahit. Sedangkan Singhawikramawardhana memindahkan kekuasaannya ke Daha, dimana ia wafat di tahun 1474.

Di Daha Singhawikramawardhana digantikan oleh anaknya, Ranawijaya yang bergelar Bhatara Prabu Girindrawardhana, yang berhasil menaklukan Kertabhumi dan merebut kembali Majapahit pada tahun 1474. Menurut Prasastinya di tahun 1486 ia menamakan dirinya Raja Wilwatika Daha Janggala Kadiri, namun kapan berakhirnya memerintah tidak diketahui. 

Demikian sejarah Majapahit semakin gelap, kecuali beberapa catatan dari Portugis bahwa Majapahit di tahun 1522 masih berdiri dan beberapa tahun kemudian kekuasaannya berpindah ke Kerajaan Islam di Demak.

Selain Majapahit masih ada Kerajaan-Kerajaan yang bercorak ke Hinduan Majapahit yaitu Kerajaan Pajajaran. Namun pada akhirnya ditundukkan oleh Sultan Yusuf dari Banten pada tahun 1579, dan Kerajaan Balambangan pada tahun 1639 ditundukkan oleh Sultan Agung dari Mataram. 
Hingga saat ini masyarakat di pegunungan Tengger masih mempertahankan corak Hindu dengan memuja Brahma, dan Bali masih mempertahankan kebudayaan lama Majapahit.


Penerus Majapahit tidak diketahui secara jelas. Namun salah satu Putera Brawijaya V bernama Raden Patah atau Jin Bun, berkedudukan sebagi Bupati Demak.
Brawijaya V mengundurkan diri dari tahtanya dan mukso ke Gunung Lawu, bersama pengikut setianya yaitu Sabdapalon dan Noyogenggong.




Perang Bubat




Tersebut negara Majapahit dengan Raja Hayam Wuruk, Raja perkasa kesayangan seluruh rakyat, yang konon ceritanya penjelmaan Dewa Kama, berbudi luhur, arif bijaksana, tetapi juga bagaikan singa dalam peperangan. Inilah raja terbesar di seluruh Jawa bergelar Rajasanagara. 
Daerah taklukannya hingga Papua dan menjadi sanjungan Empu Prapanca dalam Negarakertagama. Karena kemakmuran negaranya sangat terkenal. Namun sang Raja belum memiliki Permaisuri.



Konon ceritanya, Sang Raja menginginkan isteri yang bisa dihormati dan dicintai rakyat dan kebanggaan Raja Majapahit. Dalam pencarian seorang calon Permaisuri inilah terdengar kabar bahwa putri Sunda sangat cantik jelita, yang mengawali cerita dalam Kidung Sundayana.

Apalah arti kehormatan dan keharuman nama sang Raja, dengan seluruh Nusantara ada di bawah kekuasaannya. Tetapi hanya satu jiwanya yang senantiasa memohon pada Yang Kuasa akan kehadiran jodohnya. Terdengarlah bahwa Raja Sunda ( Kerajaan Kahuripan ) memiliki putri nan cantik bernama Diah Pitaloka Citrasemi.

Setelah bermusyawarah dengan bawahannya Sang Raja Hayam Wuruk mengirim utusan untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama Tuan Anepaken, ke Kerajaan Sunda. 
Setelah lamaran diterima, serta direstui Sang Putri Raja Sunda untuk di pinang Sang Prabu Hayam Wuruk, ratusan rakyat menghantar Sang Putri beserta Raja dan para punggawanya menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini merupakan pertanda buruk bahwa diperkirakan Putri Raja ini tidak akan pernah kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada Raja Tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.


Sepuluh hari telah berlalu sampailah rombongan Kerajaan Sunda di desa Bubat, yaitu tempat penyambutan dari Kerajaan Majapahit bertemu. Semuanya bergembira kecuali Gajahmada, yang berkeberatan menyambut Putri Raja Kahuripan tersebut, Gajahmada menganggap Putri tersebut merupaka "hadiah" kepada Sang Raja. 
Sedangkan pihak Kerajaan Sunda, menyataka Putri tersebut merupaka "pinangan" Sang Raja. Dalam dialog antara utusan dari Kerajaan Sunda dengan Patih Gajahmada, terjadi saling ketersinggungan dan berakibat terjadinya sebuah peperangan besar antara keduanya, hingga terbunuhnya Raja Sunda.

Dan setelah selesai pertempuran, datanglah Sang Raja Hayam Wuruk untuk menemui calon pinangannya. Dan, di hadapan Sang Raja Hayam Wuruk, putri Diah Pitaloka melakukan bela pati, bunuh diri. 
Sang Raja Hayam Wuruk yang kemudian tidak dapat menanggung kepedihan hatinya, tak lama kemudian akhirnya mangkat. 

Kerajaan Majapahit


Kitab Nagarakretagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri Majapahit bernama Nararya Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah lebih sering digunakan.

Saat Singhasari jatuh, dengan bantuan Lurah desa Kudadu Raden Wijaya dapat menyeberang ke Madura, guna mencari perlindungan dan bantuan dari Wiraraja di Sungeneb ( Sumenep ).

Atas saran dan jaminan Wiraraja, Raden Wijaya mengabdikan diri ke Jayakatwang di Kadiri, dan ia dianugerahi tanah di Desa Tarik, yang atas bantuan orang-orang Madura dibuka dan menjadi desa subur dengan nama Majapahit.

Sementara itu tentara Monggol sebanyak 20.000 orang yang diangkut 1.000 kapal berbekal untuk satu tahun telah mendarat di Tuban dan di dekat Surabaya, dengan tujuan membalas penghinaan Kertanegara terhadap Kubilai Khan.

Pasukan Monggol tidak mengetahui bahwa Kartanegara telah tewas dibunuh Jayakatwang. Ini dimanfaatkan Raden Wijaya dengan menggabungkan diri dengan tentara Monggol menggempur Kadiri, yang akhirnya Jayakatwang menyerah. Setelah itu, Raden Wijaya balik menyerang tentara Monggol sehingga memaksa mereka lari dan kembali ke Monggol.

Dengan bantuan pasukan Singhasari yang kembali dari Sumatra, Raden Wijaya diangkat menjadi Raja pertama Kerajaan Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309), mempunyai beberapa isteri, seorang putri Malayu dan 4 puteri Kartanegara, yang tertua bernama Tribhuwana dan yang termuda bernama Gayatri yang disebut juga Rajapatni dan dari padanyalah berlangsungnya raja-raja Majapahit selanjutnya.

Raden Wijaya memerintah dengan tegas dan bijaksana, negara tenteram dan aman, susunan pemerintahan mirip Singhasari, ditambah 2 (dua) Menteri yaitu Rakryan Rangga dan Rakryan Tumenggung.
Sedangkan Wiraraja yang banyak membantu diberi kedudukan sangat tinggi ditambah dengan kekuasaan di daerah Lumajang sampai Blambangan.



Raden Wijaya wafat di tahun 1309, meninggalkan 2 (dua) anak perempuan dari Gayatri berjuluk Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, serta satu anak laki-laki dari Dara Petak yaitu Kalagemet / Jayanegara yang dalam tahun 1309 naik tahta. 

Untuk memuliakannya, Raden Wijaya dicandikan di Candi Siwa di Simping yaitu Candi Sumberjati di sebelah selatan Blitar dan di Candi Buda di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca perwujudannya adalah Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam satu arca. 

Sedangkan Tribhuwana dimuliakan di candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto, yang diwujudkan sebagai Parwati.

Kalagemet / Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Kertarajasa. 
Pemberontakan pertama sebetulnya sudah dimulai sejak Kertarajasa masih hidup, yaitu oleh Rangga Lawe yang berkedudukan di Tuban, akibat tidak puas karena bukan dia yang menjadi patih Majapahit tetapi Nambi, anak Wiraraja. Tetapi usahanya (1309) dapat digagalkan.

Pemberontakan kedua di tahun 1311 oleh Sora, seorang Rakryan di Majapahit, tapi gagal. Lalu yang ketiga dalam tahun 1316, oleh Patihnya sendiri yaitu Nambi, dari daerah Lumajang dan benteng di Pajarakan. Nambi akhirnya dapat ditumpas.



Pemberontakan selanjutnya oleh Kuti di tahun 1319, dimana Ibukota Majapahit sempat diduduki, sang Raja Jayanegara melarikan diri dibawah perlindungan penjaga-penjaga istana yang disebut Bhayangkari sebanyak 15 orang dibawah pimpinan Gajah Mada. Akhirnya, Gajah Mada beserta Bhayangkarinya berhasil menggempur Kuti, dan mengembalikan Raja Jayanegara untuk melanjutkan pemerintahannya.

Jayanegara wafat di tahun 1328 tanpa seorang keturunan. Ia dicandikan di Sila Petak dan Bubat dengan perwujudannya sebagai Wisnu, serta di Sukalila sebagai Amoghasiddhi, dimana candi-candi itu sudah hancur.

Pengganti selanjutnya yang seharusnya adalah Gayatri, namun karena ia telah meninggalkan hidup keduniawian yaitu menjadi bhiksuni, maka anaknya lah yang bernama Bhre Kahuripan yang mewakili ibunnya naik tahta dengan gelar Tribhuwananottunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1360).

Pada tahun 1331 muncul pemberontakan di Sadeng dan Keta (daerah Besuki). Maka patih Majapahit Pu Naga digantikan patih Daha yaitu Gajah Mada, sehingga pemberontakan dapat ditumpas.

Gajah Mada dalam menunjukkan pengabdiannya, bersumpah yang disebut Sumpah Palapa ( artinya tanpa garam dan rempah-rempah ) yaitu: bahwa ia tidak akan merasakan palapa, sebelum daerah seluruh nusantara ada di bawah kekuasaan Majapahit. Atau bagi orang Jawa, disebut mutih.

Langkah pertama, Gajah Mada memimpin pasukan menaklukkan Bali di tahun 1343 bersama Adityawarman ( putera Majapahit keturunan Malayu yang di Majapahit menjabat sebagai Wrddhamantri bergelar Arrya Dewaraja Mpu Adutya). Atas jasanya Adityawarman ditempatkan di Malayu sebagai Wirddhamantri bergelar Arrya Dewaraja Pu Aditya.

Adityawarman di Sumatra menyusun kembali pemerintahan Mauliwarmmadewa yang kita kenal di tahun 1286. Ia memperluas kekuasaan sampai daerah Pagarruyung ( Minangkabau ) dan mengangkat dirinya sebagai Maharajadhiraja (1347), terhadap Gayatri ia tetap mengaku dirinya sebahai Mantri dan masih sedarah dengan Raja Putri.

Pada tahun 1360 saat Gayatri wafat, Tribhuwanottunggadewi ikut turun tahta, dan menyerahkan kedudukannya kepada anaknya yaitu Hayam Wuruk, atas perkawinannya dengan Kertawardddhana.

Hayam Wuruk memerintah dengan gelar Rajasanagara (1360-1369), didampingi Gajah Mada sebagai Patihnya. Seluruh kepulauan Indonesia bahkan juga jazirah Malaka dibuatnya mengibarkan Panji-Panji Majapahit. Hubungan persahabatan dengan negara-negara tetangga berlangsung dengan sangat baik. Sumpah Palapa pun hampir terlaksana, Majapahit mengalami jaman keemasan.

Alkisah, hanya tinggal Kerajaan Sunda yang diperintah Sri Baduga Maharaja yang menurut prasasti Batutulis (Bogor) tahun 1333, Rajanya adalah keturunn Raja Pakwan Pajajaran ( anak Rahyang Dewaniskala dan cucu dari Rahyang Niskalawastu Kancana ) yang belum dapat ditaklukkan Majapahit, walau sudah 2 (dua) kali diserang. 
Akhirnya di tahun 1357 Sri Baduga beserta para pembesar Sunda dapat didatangkan ke Majapahit dan dibinasakan secara kejam di Lapangan Bubat ( Perang Bubat ). 
Karena perang ini sangat menarik, maka secara khusus diceritakan inti kisah Perang Bubat menurut Kidung Sudayana.